Sunday, April 21, 2013

INTERAKSI BAHASA ARAB DENGAN BAHASA LAIN

INTERAKSI BAHASA ARAB DENGAN BAHASA LAIN BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bahasa Arab lebih sering diperdagangkan dan bahasa-bahasa Semit yang digunakan dalam saat ini, dan salah satu bahasa yang paling banyak digunakan di dunia. bahasa Arab dan sangat penting untuk para pengikut agama Islam, adalah sumber utama undang-undang dalam Islam (Alquran, hadis), yang tidak doa (dan tindakan-tindakan lain ibadah) kadang-kadang hanya beberapa kata kemahiran bahasa. Bahasa Arab adalah juga bahasa ibadah untuk banyak gereja Kristen di dunia Arab (Romawi Ortodoks, Katolik Roma, Syria, dan gereja Protestan), saat aku menulis banyak karya Yahudi agama dan intelektual pada Abad Pertengahan. Berbahasa Arab lebih dari 422 juta orang, 1 dan Tdthoha didistribusikan terutama di daerah yang dikenal sebagai dunia Arab, di samping banyak daerah lain yang berdekatan Kalooguz, Turki, Chad, Mali, Senegal, dan Eritrea. Dan dampak penyebaran Islam, dan bagi negara-negara pendiri, status tinggi bahasa Arab, dan menjadi bahasa politik, ilmu pengetahuan dan sastra selama berabad-abad di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh muslim, dan mempengaruhi pengaruh Arab, secara langsung atau tidak langsung dengan banyak bahasa lainnya di dunia Islam, turki, Persia, Urdu, Albania, dan beberapa bahasa Afrika yang lain, dan beberapa bahasa Eropa sebagai Rusia, Inggris, Perancis, Spanyol, Italia dan Jerman. Dia juga mengajar di sebuah formal maupun informal di negara-negara Islam dan negara-negara Afrika yang berbatasan dengan dunia Arab. 1. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah Bentuk Interaksi Bahasa Arab Dengan Bahasa Lain! 2. Bagaimanakah Pengaruh Interaksi Bahasa Arab Dengan Bahasa Lain! BAB II INTERAKSI BAHASA ARAB DENGAN BAHASA LAIN Bahasa Arab baku adalah bahasa Quraisy yang digunakan Al-Qur’an dan nabi Muhammad Saw. Bahasa ini selanjutnya disebut sebagai bahasa Arab fusha. Hari ini bahasa Arab fusha adalah ragam bahasa yang ditemukan di dalam Al-Qur’an, hadis Nabi dan warisan tradisi arab. Bahasa fusha hari ini digunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi dan untuk kepentingan kodifikasi karya-karya puisi, prosa dan penulisan pemikiran intelektual secara umum. Sedangkan bahasa amiyah adalah ragam bahasa yang digunakan untuk urusan-urusan biasa sehari-hari. 1. Bentuk-Bentuk Interaksi Bahasa Arab Dengan Bahasa Lain Di Zaman pra-Islam, masyarakat Arab mengenal stratifikasi kefasiha bahasa. Kabilah yang dianggap paling fasih di banding yang lain adalah Quraisy yang dikenal sebagai surat al-Arab (pusatnya masyarakat Arab). Kefasihan bahasa Quraisy ini terutama ditunjang oleh tempat tinggal mereka yang secara geografis berjauhan dengan negara-negara bangsa non-Arab dari segala penjuru. Di bawah kefasihan Quraisy adalah bahasa kabilah Tsaqif Hudzail, Khuza’ah, Bani Kinanah, Ghathfan, bani Asad dan Bani Tamim, menyusul kemudian kabilah Rabi’ah, lakhm, Judzam, Ghassan, Iyadh, Qadha’ah, dan Arab Yaman, yang bertetangga dekat dengan Persia, Romawi dan Habasyah. Kefasihan berbahasa itu terus terpelihara hingga meluasnya ekspansi Islam ke luar jazirah dan masyarakat Arab mulai berinteraksi dengan masyarakat bangsa lain. Dalam proses interaksi dan berbagai transaksi sosial lainnya itu terjadi kesaling pengaruhan antar bahasa. Masyarakat `ajam belajar berbahasa Arab, dan masyarakat Arab mulai mengenal bahasa lain. Intensitas interaksi tersebut lambat laun mulai berimbas pada penggunaan bahasa Arab yang mulai bercampur dengan beberapa kosa kata asing, baik dengan atau tanpa proses pengaraban. Pertukaran pengetahuan antar mereka juga berpengaruh pada pertambahan khazanah bahasa Arab khususnya menyangkut hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat Arab ketika hidup terisolasi dari bangsa lain. Masyarakat non-Arab juga kerap melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Arab. Fenomena ini kemudian makin meluas melalui Interaksi sosial, misalnya dalam aktivitas ekonomi di pasar-pasar tradisional mereka. Ragam Bahasa Arab yang digunakan, terutama di pasar-pasar, pada gilirannya mulai menemukan ciri-ciri tersendiri dan meneguhkan identitasnya. Bahasa pasaran itu telah menjadi medium komunikasi yang dimengerti oleh berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Berbeda dengan ragam bahasa Arab fusha yang sarat muatan teologis sebagai bahasa agama, ragam bahasa “pasar” ini begitu ringan mengalir tanpa adanya aturan yang rumit yang harus diwaspadai. Fenomena penyimpangan bahasa (lahn) adalah cikal bakal lahirnya bahasa amiyah, bahkan ia disebut sebagai bahasa amiyah yang pertama. Berbeda dengan dialek-dialek bahasa Arab yang digunakan di sejumlah tempat lokal, bahasa amiyah dianggap sebagai suatu bentuk perluasan bahasa yang tidak alami. Bahasa Arab amiyah adalah bahasa yang “menyalahi” kaidah-kaidah orisinil bahasa fusha. Dengan kata lain, bahasa amiyah adalah “bahasa dalam penyimpangan” setelah sebelumnya merupakan fenomena penyimpangan dalam (sebuah) bahasa. Secara perlahan tapi pasti bahasa amiyah terus berkembang hingga menjelma sebagai bahasa yang otonom dengan kaidah kaidah dan ciri-cirinya sendiri. Bahasa amiyah di negeri-negeri (taklukan) Islam awalnya adalah lahn yang sederhana dan masih labil karena masyarakatnya masih memiliki watak bahasa Arab yang husus. Karena itu,di awal kemunculannya, bahasa amiyah di kalangan masyarakat masih mempunyai rentangan antara yang lebih dekat dengan bahasa baku (fusha) sampai pada yang jauh darinya. Selanjutnya bahasa amiyah mulai menyebar di beberapa tempat semisal Syam, Mesir dan Sawad. Di beberapa tempat itu, bahasa Arab fusha sudah menerima kosa kata serapan dari Persia. Romawi, Qibtiyah dan Nabthiyah dalam jumlah yang cukup besar. Karena itu bahasa masyarakat mulai rusak dalam ukuran yang signifikan. Masyarakat mulai mencampuradukkan bahasa asli mereka dengan bahasa-bahasa serapan, tanpa melakukan pemilahan. Di antara kosa kata serapan yang paling banyak diambil adalah kata benda sedangkan kata-kata ajektiva sedikit saja yang diadopsi. Banyaknya pengadopsian kata benda itu karena intensitas pemakaiannya lebih tinggi dibanding jenis kata yang lain. Bahasa Arab seperti yang dikenal dan dipergunakan dalam pelbagai suasana formal hingga hari ini di berbagai belahan negara Arab. Dialek ini merupakan gabungan dari berbagai dialek yang berbeda, sebagian yang dominan berasal dari bagian utara jazirah Arab dan sebagian yang lain dari daerah selatan. Ragam bahasa inilah yang sekarang digunakan dalam berbagai tulisan berbahasa Arab, pidato-pidato, siaran-siaran dan jurnalisme. Dialek ini sudah tersebar luas di seluruh jazirah sejak masa pra-Islam dan menjadi lingua franca bagi masyarakat multikabilah. 1. Pengaruh Bahasa Arab Dengan Bahasa Lain Kedudukan bahasa Quraisy ini semakin kukuh sejak turunnya Al-Qur’an. Dialek ini terus berkembang seiring meningkatnya intensitas interaksi masyarakat Arab dari berbagai kabilah melalui pasar-pasar mereka yang sekaligus dijadikan pasar festival seni dan sastra. Pasar-pasar zaman pra-Islam seluruhnya berjumlah delapan, dan yang sangat terkenal sebagai ajang unjuk kebolehan para sastrawan dalam bidang puisi dan pidato adalah ukadz, majannah, marbad, dzulmajaz dan khaibar. Pertemuan dan interaksi antar anggota berbagai kabilah melalui perjalanan, perdagangan, dan festival seni dan sastra telah melahirkan sebuah lingua franca, bahasa pergaulan bersama (al-lughat almusytarakah) yang dijadikan medium komunikasi lintas kabilah. Berbagai karya sastra di zaman ini menggunakan bahasa bersama itu sehingga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kualitas sastrawan dan karyanya. Penilaian itu tentu akan sulit dilakukan jika masing-masing menggunakan bahasa lokalnya. Ada sejumlah pandangan mengenai proses terbentuknya lingua franca antar berbagai kabilah yang memiliki berbagai dialek lokal itu: Pertama, pandangan bahwa di antara berbagai dialek kabilah itu, dialek Quraisy adalah yang paling fasih, dominan dan dipahami oleh berbagai kabilah di seluruh jazirah pada masa pra-Islam. Dialek Quraisy mengungguli dialek-dialek lain dan menjadi bahasa sastra lintas kabilah. Karena itu tidak mengherankan jika Al-Qur’an diturunkan menggunakan dialek Quraisy, dan Muhammad Saw yang diutus sebagai rasul juga berasal dari kabilah ini. Kedua, pandangan bahwa dominasi dialek Quraisy terhadap dialek-dialek lain hanya terjadi di jaman pra-Islam, tetapi tidak demikian setelah datangnya Islam. Dominasi itu karena tempat tinggal kabilah Quraisy, Mekkah, menjadi tempat pelaksanaan ibadah haji, kota dagang dan pusat kesatuan politik yang otonom terhadap kekuatan-kekuatan lain. Kekuasaan politik, ekonomi dan agama itu memperkokoh dialek Quraisy di hadapan dialek-dialek lain. Ketiga, pandangan yang tidak mengakui dialek Quraisy sebagai lingua franca atau bahasa bersama bagi seluruh kabilah Arab. Menurut Al-Rajihi, asumsi bahwa dialek Quraisy adalah lingua franca bagi seluruh kabilah Arab hanya untuk mengagungkan kabilah Muhammad Saw sebagai rasul. Sebagai bukti, masyarakat Hijaz, dan suku Quraisy adalah salah satunya, cenderung meringankan bacaan hamzah, sedangkan kabilah lain membacanya dengan jelas. Terlepas dari ketiga pandangan di atas, hasil kajian-kajian kebahasaan menunjukkan bahwa: 1. di jazirah Arab selain dialek-dialek lokal, juga ditemui sebuah bahasa bersama lintas kabilah yang digunakan dalam karya karya para sastrawan, digunakan di pasar-pasar dan perayaan-perayaan mereka, 2. ketika Islam datang, Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa bersama itu agar dimengerti oleh seluruh kabilah, 3. di dalam bahasa Al- Qur’an ternyata didapati tidak hanya dialek Quraisy melainkan juga dialek kabilah-kabilah lain, seperti Hudzail, Tamim, Hamir, Jurhum, Midzhaj, Khatz’am, Qais `Aylan, Balharits bin Ka’b, Kindah, Lakhm, Judzam, Al-Aus, dan Al-Khazraj Thayyi’. Bahkan, ada yang mengatakan di dalam Al-Qur’an ditemukan lebih kurang lima puluh dialek, 4. dialek Quraisy adalah yang paling dominan di dalam Al-Qur’an berdasarkan kesepakatan para linguis, dan sebuah hadits Nabi yang menyatakan bahwa jika terdapat perbedaan pendapat mengenai wahyu (ayat Al-Qur’an) yang hendak ditulis maka hendaknya ditulis dengan dialek Quraisy karena, menurut Rasul, Al-Qur’an diturunkan menggunakan bahasa ini. Sejak kedatangan Islam, kedudukan bahasa bersama (lingua franca) itu makin kokoh. Persepsi masyarakat mengenai ragam bahasa Arab pun mulai mengalami pergeseran. Jika sebelumnya mereka menganggap bahasa Arab Al-Qur’an dan bahasa lokal sebagai setara, berikutnya penghargaan dan perhatian lebih ditujukan kepada bahasa bersama yang nota bene digunakan Al-Qur’an. Sebagai bahasa agama, di samping keunggulan obyektif yang dimiliki, bahasa Arab Al-Qur’an dianggap lebih pantas untuk digunakan. Sejak saat itu, tampak antusiasme yang besar dari masyarakat untuk mendalami dan mengkaji bahasa Al-Qur’an, bahasa bersama yang dinisbahkan kepada suku Quraisy itu. Seiring dengan waktu, bahasa Arab Al-Qur’an dijadikan bahasa baku bagi seluruh kabilah di Jazirah Arab. Ratifikasi tata bahasa Arab didasarkan pada bahasa Al-Qur’an itu di samping fakta-fakta bahasa yang tersebar diberbagai karya para sastrawan. Lambat laun muncul asumsi bahwa bahasa yang baik adalah bahasa Al-Qur’an, dan yang berbeda darinya dianggap sebagai kelas dua, atau bahkan menyimpang. Sadar atau tidak, pada gilirannya bahasa kabilab Quraisy menjadi patokan kebakuan dan pembakuan bahasa. Upaya penggiringan untuk hanya menggunakan bahasa Al-Qur’an yang nota bene adalah bahasa Quraisy memunculkan sejumlah masalah. Masyarakat yang berasal dari kabilah selain Quraisy tidak seluruhnya memiliki kesiapan dan kemampuan menggunakan bahasa Al-Qur’an secara baik dan benar. Akibatnya, terjadi sejumlah kesalahan dan fenomena penyimpangan bahasa ketika masyarakat mulai menggunakan bahasa Arab fusha. Praktik kesalahan dan penyimpangan berbahasa itu disebut lahn. Istilah lahn ini dikenakan awalnya pada kesalahan dan ketidaktaatan pada i‘rab, yaitu perubahan bunyi akhir kata karena perubahan kedudukannya dalam kalimat. Benih-benih lahn mulai muncul sejak jaman Nabi Muhammad Saw berupa perbedaan logat, dan cara berbicara di kalangan sahabat. Misalnya, Bilal yang berbicara dengan logat Habasyi, Shuhaib dengan logat Romawi, Salman dengan logat Persia, dan seterusnya. Istilah lahn itu baru muncul setelah kedatangan Islam dan setelah bahasa Quraisy yang digunakan Al-Qur’an menjadi bahasa baku. Nabi Muhammad diceritakan pernah memberikan peringatan keras terhadap orang yang melakukan lahn, yang diduga sebagai praktik lahn pertama. Sejak dilakukan penaklukan ke luar jazirah Arab, seperti Romawi dan Persia, praktik lahn makin tak terelakkan. Permasalahannya semakin kompleks ketika masyarakat Arab mulai mencampur adukkan bahasa mereka dengan apa yang didengar dari bahasa orang-orang yang terarabkan (muta’arrabin) di negeri-negeri taklukan. Praktik lahn tidak hanya terjadi dalam bahasa lisan tetapi juga mulai merembet pada bahasa tulis, terutama sejak masa Umar bin Khatthab. Fenomena lahn ini makin meluas sejak dilakukannya penukilan buku-buku berbahasa Romawi dan Qibtiyah (Mesir) ke dalam bahasa Arab, dalam surat menyurat, dan lain sebagainya. Sejak masa Islam dan setelah ekspansi kekuasaannya ke luar Jazirah Arab, fenomena tsunaiyat al-lughah atau diglossie yang semula hanya terjadi antara dialek lokal sebuah kabilah (lahaja:t al-qaba:il) dengan dialek bahasa bersama (al-lughat al-musytarakah), mulai bergeser antara bahasa fusha dengan bahasa amiyah. Diglosia bahasa fusha dan amiyah yang dimaksudkan adalah sejak munculnya ragam bahasa yang terakhir pada masa-masa ekspansi Islam yang pertama yaitu sejak terjadinya interaksi antara orang Arab dengan non-Arab (a’a:jim). Di awal kemunculannya bahasa amiyah tidak memiliki ciri-ciri pembeda yang jelas dari bahasa fusha. Setelah beberapa waktu, ragam bahasa ini mulai menampakkan ciri-cirinya dalam hal bunyi, pola, susunan kalimat, sintaksis, cara pengungkapan, dan materi bahasanya secara umum. BAB III PENUTUP 1. Kefasihan bahasa Quraisy ini terutama ditunjang oleh tempat tinggal mereka yang secara geografis berjauhan dengan negara-negara bangsa non-Arab dari segala penjuru. Kefasihan berbahasa itu terus terpelihara hingga meluasnya ekspansi Islam ke luar jazirah dan masyarakat Arab mulai berinteraksi dengan masyarakat bangsa lain. Dalam proses interaksi dan berbagai transaksi sosial lainnya itu terjadi kesaling pengaruhan antar bahasa. Masyarakat `ajam belajar berbahasa Arab, dan masyarakat Arab mulai mengenal bahasa lain. Intensitas interaksi tersebut lambat laun mulai berimbas pada penggunaan bahasa Arab yang mulai bercampur dengan beberapa kosa kata asing, baik dengan atau tanpa proses pengaraban. Pertukaran pengetahuan antar mereka juga berpengaruh pada pertambahan khazanah bahasa Arab khususnya menyangkut hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat Arab ketika hidup terisolasi dari bangsa lain. Masyarakat non-Arab juga kerap melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Arab. Fenomena ini kemudian makin meluas melalui Interaksi sosial, misalnya dalam aktivitas ekonomi di pasar-pasar tradisional mereka. Ragam Bahasa Arab yang digunakan, terutama di pasar-pasar, pada gilirannya mulai menemukan ciri-ciri tersendiri dan meneguhkan identitasnya. 1. Pertemuan dan interaksi antar anggota berbagai kabilah melalui perjalanan, perdagangan, dan festival seni dan sastra telah melahirkan sebuah lingua franca, bahasa pergaulan bersama (al-lughat almusytarakah) yang dijadikan medium komunikasi lintas kabilah. Berbagai karya sastra di zaman ini menggunakan bahasa bersama itu sehingga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kualitas sastrawan dan karyanya. Penilaian itu tentu akan sulit dilakukan jika masing-masing menggunakan bahasa lokalnya.

1 comment: