BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam
hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia
ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari
keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau
kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata
sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan
fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan
(realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran,
yang disebut pencerahan. Jika proses itu
memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya
dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang;
(1) disusun metodis, sistematis dan koheren
(“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas),
dan yang
(2) dapat digunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang
khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu
tentang seluruh kenyataan (realitas).
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan
apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmsu sebagaimana
kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat
manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa
yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai
sebuah jawaban filsafati.
Kegiatan manusia yang memiliki tingkat
tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat
segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia . Bagian filsafat yang paling mulia
adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan
sebab dari segala kebenaran (Al-Kindi, 801 – 873 M).
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek
formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Obyek materinya
semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang
ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Sonny Keraf dan Mikhael Dua mengartikan ilmu
filsafat sebagai ilmu tentag bertanya atau berpikir tentang segala sesuatu (apa
saja dan bahkan tentang pemikiran itu sendiri) dari segala sudut pandang. Thinking
about thinking.
Meski bagaimanapun banyaknya gambaran yang
kita dapatkan tentang filsafat, sebenarnya masih sulit untuk mendefinisikan
secara konkret apa itu filsafat dan apa kriteria suatu pemikiran hingga kita
bisa memvonisnya, karena filsafat bukanlah sebuah disiplin ilmu. Sebagaimana
definisinya, sejarah dan perkembangan filsafat pun takkan pernah habis untuk
dikupas. Tapi justru karena itulah mengapa fisafat begitu layak untuk dikaji
demi mencari serta memaknai segala esensi kehidupan.
B. Klasifikasi Filsafat
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang
mengajukan pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya
pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat
tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan
menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat
biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar
belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”,
“Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama
dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan
“Filsafat Kristen”.
1.) Klasifikasi Filsafat Menurut Wilayah
‘‘‘Filsafat
Barat’’’ adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di
universitas-universitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini
berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Namun pada hakikatnya,
tradisi falsafi Yunani sebenarnya sempat mengalami pemutusan rantai ketika
salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry
telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati
terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh
negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius
menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah, maka John
Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan
menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan
berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam pada dinasti Abbasyah.
Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato,
Thomas Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, George Hegel, Arthur
Schopenhauer, Karl Heinrich Marx,
Dalam tradisi filsafat Barat di Indonesia
sendiri yang notabene-nya adalah bekas jajahan bangsa Eropa-Belanda, dikenal
adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Tema-tema
tersebut adalah: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Tema pertama adalah ontologi. Ontologi
membahas tentang masalah “keberadaan” sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan
secara empiris (kasat mata), misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk
hidup, atau tata surya.
Tema kedua adalah epistemologi. Epistemologi
adalah tema yang mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti
“pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti
batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan.
Tema ketiga adalah aksiolgi. Aksiologi yaitu
tema yang membahas tentang masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada
kehidupan manusia. Nilai sosial .
‘‘‘Filsafat
Timur’’’ adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di
India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya.
Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama.
Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat,
terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih
lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain
Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga
Mao Zedong.
‘‘‘Filsafat
Timur Tengah’’’ ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab dilihat
dari sejarah, para filsuf dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan juga
merupakan ahli waris tradisi Filsafat Yunani. Sebab para filsuf Timur Tengah
yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam dan juga
beberapa orang Yahudi, yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah
dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka
menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani.
Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya
Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik
Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan
bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama
beberapa filsuf Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran
(aliran romantisme; kalau boleh disebut bergitu)dan Averroes.
2.) Klasifikasi Filsafat Menurut Latar Belakang Agama
a. Filsafat Islam
‘‘‘Filsafat Islam’’’ bukanlah filsafat Timur
Tengah. Bila memang disebut ada beberapa nama Yahudi dan Nasrani dalam filsafat
Timur Tengah, dalam filsafat Islam tentu seluruhnya adalah muslim. Ada sejumlah
perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski
semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani
terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran
Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih
‘mencari Tuhan’, dalam filsafat Islam justru Tuhan ‘sudah ditemukan.’
Pada mulanya filsafat berkembang di pesisir
samudera Mediterania bagian Timur pada abad ke-6 M yang ditandai dengan
pertanyaan-pertanyaan untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia, dan
Tuhan. Dari sinilah lahirlah sains-sains besar, seperti fisika, etika,
matematika, dan metafisika yang menjadi batubara kebudayaan dunia.
Dari Asia Minor (Mediterania) bergerak menuju
Athena yang menjadi tanah air filsafat. Ketika Iskandariah didirikan oleh
Iskandar Agung pada 332 SM, filsafat mulai merambah dunia timur, dan berpuncak
pada 529 M.
b. Filsafat Kristen
‘‘‘Filsafat Kristen’’’ mulanya disusun oleh
para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu
dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age).
Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran,
filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis<!--[if
!supportFootnotes]-->[1]<!--[endif]-->
dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli
masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dan
lain sebagainya.
Selain dua agama terbesar diatas, masih ada
beberapa agama lainya yang melahirkan pemahaman falsafi yang sampai sekarang
masih eksis. Misalnya Budha, Taoisme, dan lain sebagainya.
Buddha dalam bahasa Sansekerta berarti mereka yang
sadar, atau yang mencapai pencerahan sejati (Dari perkataan Sansekerta: untuk
mengetahui). Budha merupakan gelar kepada individu yang menyadari potensi penuh
mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya. Dalam penggunaan
kontemporer, ia sering digunakan untuk merujuk Siddharta Gautama yang
dilahirkan pada tahun 623 SM di Taman Lumbini.
Sidharta adalah guru agama dan pendiri Agama
Buddha (dianggap “Buddha bagi waktu ini”). Dalam pandangan lainnya, ia
merupakan tarikan dan contoh bagi manusia yang telah sadar.
Penganut Buddha tidak menganggap Siddharta
Gautama sebagai sang hyang Buddha pertama atau terakhir. Secara teknis, Buddha,
seseorang yang menemukan Dharma atau Dhamma (yang bermaksud: Kebenaran; perkara
yang sebenarnya, akal budi, kesulitan keadaan manusia, dan jalan benar kepada
kebebasan melalui Kesadaran, datang selepas karma yang bagus (tujuan)
dikekalkan seimbang dan semua tindakan buruk tidak mahir ditinggalkan.
Pencapaian nirwana (nibbana) di antara ketiga jenis Buddha<!--[if
!supportFootnotes]-->[2]<!--[endif]-->
adalah serupa, tetapi Samma-Sambuddha menekankan lebih kepada kualitas dan
usaha dibandingkan dengan dua lainnya.
Taoisme merupakan filsafat Laozi<!--[if
!supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]-->
dan Zhuangzi (570 SM ~470 SM) tetapi bukan agama. Taoisme berasalkan dari kata
“Dao” yang berarti tidak berbentuk, tidak terlihat tetapi merupakan asas atau
jalan atau cara kejadian kesemua benda hidup dan benda-benda alam semesta
dunia. Dao yang wujud dalam kesemua benda hidup dan kebendaan adalah “De”.
Gabungan Dao dengan De diperkenalkan sebagai Taoisme merupakan asasi alamiah.
Taoisme bersifat tenang, tidak berbalah, bersifat lembut seperti air, dan
berabadi. Keabadian manusia adalah apabila seseorang mencapai “Kesedaran Dao”.
Penganut-penganut Taoisme mempraktekan Dao untuk mencapai “Kesedaran Dao” dan
juga mendewakan.
Taoisme juga memperkenalkan teori Yinyang.
Yin dan Yang dengan saintifiknya diterjemahkan sebagai negatif dan positif.
Setiap benda adalah dualisme, terdapat positif mesti adanya negatif; tidak
bernegatif dan tidak berpositif jadinya kosong, tidak ada apa-apa. Bahkan
magnet, magnet memiliki kutub positif dan negatif, kedua-dua sifat tidak bisa
diasingkan; tanpa positif, tidak akan wujud negatif, magnet tidak akan terjadi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Filsafat Islam
Sebelum sampai kepada definisi Filsafat Islam, terlebih dahulu kami akan memberikan makna filsafat yang berkembang di kalangan cendikiawan muslim.
Menurut Mustofa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di kalangan umat Islam adalah kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum Al-Islam (hakim-hakim Islam) sama dengan falasifatul Islam (failasuf-failasuf Islam). Hal ini dikuatkan oleh Dr. Faud Al-Ahwani, bahwa kebanyakan pengaran-pengarang Arab menempatkan kalimat hikmah di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat kalimat failusuf atau sebaliknya. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa sebenarnya kata hikmah itu berada d atas kata filsafat.
Al-Farabi berkata: Failusuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema'rifati Allah yang mengandung pengertian mema'rifati kebaikan.
Ibnu Sina mengatakan, hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia.
Kemudian Ahli tafsir Muhammad Abduh mengatakan bahwa hikmah adalah ilmu yang berhubungan dengan rahasia-rahasia, yang kokoh/rapi, dan bermanfaat dalam menggerakkan amal pekerjaan.
Sementara itu ada yang berpendapat bahwa asal makna hikmah adalah tali kendali untuk kuda dalam mengekang kenakalannya. Dari sini makna diambillah kata hikmah dalam arti pengetahuan atau kebijaksanaan karena hikmah ini menghalang-halangi dari orang yang mempunyai perbuatan rendah. Kemudian hikmah diartikan perkara yang tinggi yang dapat dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu yaitu akal dan metode-metode berpikirnya.
Apabila melihat ayat-ayat Al-Qur’an, maka ada beberapa arti yang dikandung dalam Kata hikmah itu, antara lain adalah: Untuk memperhatikan keadaan dengan seksama untuk memahami rahasia syariat dan maksud-maksudnya.
Kenabian
Dengan demikian hikmah yang diidentikkan dengan filsafat adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu, baik yang bersifat teoritis (etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal baik.
Sampailah kita pada pengertian Filsafat Islam yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam. Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.
Dr. Ibrahim Madzkur mengatakan: Filsafat Arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk suatu ras atau umat. Meskipun demikian saya mengutamakan menamakannya filsafat Islam, karena Islam bukan akidah saja, tetapi juga sebagai peradaban. Setiap peradaban mempunyai kehidupannya sendiri dalam aspek moral, material, intelektual dan emosional. Dengan demikian, Filsafat Islam mencakup seluruh studi filosofis yang ditulis di bumi Islam, apakah ia hasil karya orang-orang Islam atau orang-orang Nasrani ataupun orang-orang Yahudi (Fuad Al-Ahwani, Hal. 15).
Drs. Sidi Gazalba memberikan gambaran sebagai berikut: Bahwa Tuhan memberikan akal kepada manusia itu menurunkan nakal (wahyu/sunnah) untuk dia. Dengan akal itu ia membentuk pengetahuan. Apabila pengetahuan manusia itu digerakkan oleh nakal, menjadilah ia filsafat Islam. Wahyu dan Sunnah (terutama mengenai yang ghaib) yang tidak mungkin dibuktikan kebenarannya dengan riset, filsafat Islamlah yang memberikan keterangan, ulasan dan tafsiran sehingga kebenarannya terbuktikan dengan pemikiran budi yang bersistem, radikal dan umum (Drs. Sidi Gazalba, hal. 31).
Dengan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu.
Banyak di kalangan para ahli berbeda dalam menanamkan filsafat Islam. Apakah ia merupakan filsafat Islam atau filsafat Arab atau ada nama lain dari kedua istilah itu.
Prof. Mu'in, menyatakan apabila filsafat itu disebut dengan Filsafat Arab, berarti mengeluarkan orang Iran, orang Afghanistan, orang Pakistan, dan orang India. Oleh karena itu memilih dengan Filsafat Islam. Demikian pula orientalis Perancis Courbin, seorang Islamolog dan kebudayaan Iran, membela dengan Filsafat Islam. Sebagaimana dikatakannya. Jika kita mengambil nama Filsafat Arab, pengertiannya sempit sekali bahkan keliru.
Berbeda dengan As-Sahrawardi Ar-Razi, beliau lebih suka memilih pendapat yang menamakannya Filsafat di dunia Islam, adapun Mauric de Wild, Emik Brehier dan Lutfi As Sayid menyebutkan dengan Filsafat Arab. Pada umumnya pendapat yang menyebutkan Filsafat Arab beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa Arab, atau ia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan menambah unsur-unsur baru dalam bahasa Arab.
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran filsafat tersebut adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil orang Arab semata-mata, maka tidak benar. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa Islah telah mempersatukan berbagai-bagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sebaliknya kalau yang dimaksud dengan filsafat Islam adalah hasil pemikiran kaum muslimin semata-mata, juga berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan Yacobias dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Shabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan filsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum muslimin lebih tepat disebut filsafat Islam, mengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga peradaban. Pemikiran filsafat ini sudah barang tentu berpengaruh oleh peradaban Islam tersebut, meskipun pemkiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problem-problemnya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka peradaban serta pemikiran dalam satu kesatuan. Apabila hal ini ditunjang dengan pemakaian buku-buku yang berasal dari filosuf Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, ataupun Al-Farabi.
Dengan demikian hikmah yang diidentikkan dengan filsafat adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu, baik yang bersifat teoritis (etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal baik.
Sampailah kita pada pengertian Filsafat Islam yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam. Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.
Dr. Ibrahim Madzkur mengatakan: Filsafat Arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk suatu ras atau umat. Meskipun demikian saya mengutamakan menamakannya filsafat Islam, karena Islam bukan akidah saja, tetapi juga sebagai peradaban. Setiap peradaban mempunyai kehidupannya sendiri dalam aspek moral, material, intelektual dan emosional. Dengan demikian, Filsafat Islam mencakup seluruh studi filosofis yang ditulis di bumi Islam, apakah ia hasil karya orang-orang Islam atau orang-orang Nasrani ataupun orang-orang Yahudi (Fuad Al-Ahwani, Hal. 15).
Drs. Sidi Gazalba memberikan gambaran sebagai berikut: Bahwa Tuhan memberikan akal kepada manusia itu menurunkan nakal (wahyu/sunnah) untuk dia. Dengan akal itu ia membentuk pengetahuan. Apabila pengetahuan manusia itu digerakkan oleh nakal, menjadilah ia filsafat Islam. Wahyu dan Sunnah (terutama mengenai yang ghaib) yang tidak mungkin dibuktikan kebenarannya dengan riset, filsafat Islamlah yang memberikan keterangan, ulasan dan tafsiran sehingga kebenarannya terbuktikan dengan pemikiran budi yang bersistem, radikal dan umum (Drs. Sidi Gazalba, hal. 31).
Dengan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu.
Banyak di kalangan para ahli berbeda dalam menanamkan filsafat Islam. Apakah ia merupakan filsafat Islam atau filsafat Arab atau ada nama lain dari kedua istilah itu.
Prof. Mu'in, menyatakan apabila filsafat itu disebut dengan Filsafat Arab, berarti mengeluarkan orang Iran, orang Afghanistan, orang Pakistan, dan orang India. Oleh karena itu memilih dengan Filsafat Islam. Demikian pula orientalis Perancis Courbin, seorang Islamolog dan kebudayaan Iran, membela dengan Filsafat Islam. Sebagaimana dikatakannya. Jika kita mengambil nama Filsafat Arab, pengertiannya sempit sekali bahkan keliru.
Berbeda dengan As-Sahrawardi Ar-Razi, beliau lebih suka memilih pendapat yang menamakannya Filsafat di dunia Islam, adapun Mauric de Wild, Emik Brehier dan Lutfi As Sayid menyebutkan dengan Filsafat Arab. Pada umumnya pendapat yang menyebutkan Filsafat Arab beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa Arab, atau ia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan menambah unsur-unsur baru dalam bahasa Arab.
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran filsafat tersebut adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil orang Arab semata-mata, maka tidak benar. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa Islah telah mempersatukan berbagai-bagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sebaliknya kalau yang dimaksud dengan filsafat Islam adalah hasil pemikiran kaum muslimin semata-mata, juga berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan Yacobias dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Shabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan filsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum muslimin lebih tepat disebut filsafat Islam, mengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga peradaban. Pemikiran filsafat ini sudah barang tentu berpengaruh oleh peradaban Islam tersebut, meskipun pemkiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problem-problemnya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka peradaban serta pemikiran dalam satu kesatuan. Apabila hal ini ditunjang dengan pemakaian buku-buku yang berasal dari filosuf Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, ataupun Al-Farabi.
Objek Filsafat
Islam
Telah disebutkan bahwa objek filsafat adalah
menelaah hakikat tentang Tuhan, tentang manusia dan tentang segala realitas
yang nampak di hadapan manusia. Ada beberapa persoalan yang biasa dikedepankan
dalam mencari objek filsafat meskipun akhirnya tidak akan lepas dari ketiga hal
itu, yaitu:
Dari apakah benda-benda dapat berubah menjadi
lainnya, seperti perubahan oksigen dan hidrogen menjadi air?
Apakah jaman itu yang menjadi ukuran gerakan
dan ukuran wujud semua perkara?
Apakah bedanya makhluk hidup dengan makhluk
yang tidak hidup?
Apakah ciri-ciri khas makhluk hidup itu?
Apa jiwa itu? Jika jiwa itu ada, apakah jiwa
manusia itu abadi atau musnah?
Dan masih ada lagi pertanyaan-pertanyaan
lain.
Persoalan-persoalan tersebut membentuk ilmu fisika dan dari sini kita meningkat kepada ilmu yang lebih umum ialah ilmu metafisika, yang membahas tentang wujud pada umumnya, tentang sebab wujud, tentang sifat zat yang mengadakan. Dari sini kita bisa menjawab pertanyaan: Apakah alam semesta ini wujud dengan sendirinya ataukah ia mempunyai sebab yang tidak nampak?
Kemudian kita dapat membuat obyek pembahasa lagi, yaitu pengetahuan/pengenalan itu sendiri, cara-cara dan syarat-syarat kebenaran atau salahnya, dan dari sini maka keluarlah ilmu logika (ilmu mantiq) yang tidak ada kemiripannya dengan ilmu-ilmu positif. Kemudian kita melihat kepada akhlak dan apa yang seharusnya diperbuat oleh perorangan, keluarga dan masyarakat, yang berbeda dengan ilmu. Sosiologi lebih menekankan kepada pengertian tentang gejala-gejala kemasyarakatan dan hubungannya, tanpa meneliti apa yang seharusnya terjadi.
Persoalan-persoalan tersebut membentuk ilmu fisika dan dari sini kita meningkat kepada ilmu yang lebih umum ialah ilmu metafisika, yang membahas tentang wujud pada umumnya, tentang sebab wujud, tentang sifat zat yang mengadakan. Dari sini kita bisa menjawab pertanyaan: Apakah alam semesta ini wujud dengan sendirinya ataukah ia mempunyai sebab yang tidak nampak?
Kemudian kita dapat membuat obyek pembahasa lagi, yaitu pengetahuan/pengenalan itu sendiri, cara-cara dan syarat-syarat kebenaran atau salahnya, dan dari sini maka keluarlah ilmu logika (ilmu mantiq) yang tidak ada kemiripannya dengan ilmu-ilmu positif. Kemudian kita melihat kepada akhlak dan apa yang seharusnya diperbuat oleh perorangan, keluarga dan masyarakat, yang berbeda dengan ilmu. Sosiologi lebih menekankan kepada pengertian tentang gejala-gejala kemasyarakatan dan hubungannya, tanpa meneliti apa yang seharusnya terjadi.
Dari uraian ini, maka filsafat sebagai
ilmu yang mengungkap tentang wujud-wujud melalui sebab-sebab yang jauh, yakni
pengetahuan yang yakin yang sampai kepada munculnya suatu sebab. Ilmu terhadap
wujud-wujud itu adalah bersifat keseluruhan, bukan terperinci, karena
pengetahuan secara terperinci menjadi lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena
sifatnya keseluruhan, maka filsafat hanya membicarakan benda pada umumnya atau
kehidupan pada umumnya.
Dengan demikian filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.
Dengan demikian filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.
Hubungan
Filsafat Islam Dengan Filsafat Yunani
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat
dielakkan begitu saja bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat
Yunani. Para filosuf Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka
banyak tertarik terhadap pemikiran-pemikiran Platinus. Sehingga banyak
teori-teori filosuf Yunani diambil oleh filsuf Islam.
Demikian keadaan orang yang dapat kemudian. Kedatangan para filosuf Islam yang terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya, dan berguru kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-20 ini, banyak yang berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetap berguru tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, sebagaimana yang dikatakan oleh Renan, karena filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya. Pertukaran dan perpindahan suatu pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Suatu persoalan dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak. Seorang dapat mengemukakan persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teorinya sendiri. Spinoza, misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes, ia mempunyai mahzab sendiri. Ibnu Sina, meskipun menjadi murid setia Aristoteles, ia mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
Para filsuf Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filsuf-filsuf lain. Sehingga pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya, tidaklah dapat dipungkiri bahwa dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.
Demikian keadaan orang yang dapat kemudian. Kedatangan para filosuf Islam yang terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya, dan berguru kepada filsuf Yunani. Bahkan kita yang hidup pada abad ke-20 ini, banyak yang berhutang budi kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Akan tetap berguru tidak berarti mengekor dan mengutip, sehingga dapat dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, sebagaimana yang dikatakan oleh Renan, karena filsafat Islam telah mampu menampung dan mempertemukan berbagai aliran pikiran. Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya. Pertukaran dan perpindahan suatu pikiran bukan selalu dikatakan utang budi. Suatu persoalan dan hasilnya dapat mempunyai bermacam-macam corak. Seorang dapat mengemukakan persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teorinya sendiri. Spinoza, misalnya, meskipun banyak mengutip Descartes, ia mempunyai mahzab sendiri. Ibnu Sina, meskipun menjadi murid setia Aristoteles, ia mempunyai pemikiran yang berbeda-beda.
Para filsuf Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filsuf-filsuf lain. Sehingga pengaruh lingkungan terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan. Pada akhirnya, tidaklah dapat dipungkiri bahwa dunia Islam berhasil membentuk filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam itu sendiri.
Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai
sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa
“filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan
pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu
yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu
filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat
bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena
menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup
kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan
eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan
problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan
alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu
dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa
dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak
diperlukan logika berpikir dan logika bahasa
Banyak pengertian-pengertian atau
definisi-definisi tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf.
Menurut Merriam-Webster (dalam Soeparmo, 1984), filsafat merupakan pengetahuan
tentang kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta
hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika
dan teori pengetahuan.
Beberapa filsuf mengajukan beberapa definitif
pokok filsafat seperti: Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan
sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas. Upaya untuk melukiskan hakekat
realitas akhir dan dasar serta nyata, Upaya untuk menentukan batas-batas
jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakekatnya, keabsahannya, dan nilainya.
Penyelidikan kritis dan radikal atas pengandaian-pengandaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan. Sesuatu
yang berupaya untuk membantu kita melihat apa yang kita katakan dan untuk
mengatakan apa yang kita lihat.
Kalau menurut tradisi filsafati yang diambil
dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan
philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.)<!--[if
!supportFootnotes]-->[5]<!--[endif]-->,
setelah dia membaca tulisan Herakleides Pontikos (penganut ajaran Aristoteles)
yang memakai kata sophia. Pytagoras menganggap
dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya
hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa
Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab فلسة, yang juga diambil dari
bahasa Yunani; philosophia (Φιλοσοφία) Dalam bahasa ini, kata tersebut
merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta
dsb.) dan (sophia = “kebijaksanaan”). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang
“pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa
Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan
aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah
disebut “filsuf”.
Dalam istilah Inggris, philosophy,
yang berarti filsafat, juga berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim
diterjemahkan ke dalam bahasa tersebut sebagai cinta kearifan. Menurut
pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu, filsafat berarti cinta
kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata luas
sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi
pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan
sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan
soal-soal praktis (The Liang Gie, 1999).
Filsafat adalah usaha untuk memahami atau
mengerti semesta dalam hal makna (hakikat) dan nilai-nilainya (esensi) yang
tidak cukup dijangkau hanya dengan panca indera manusia sekalipun.Bidang
filsafat sangatlah luas dan mencakup secara keseluruhan sejauh dapat dijangkau
oleh pikiran. Filsafat berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang asal
mula dan sifat dasar alam semesta tempat manusia hidup serta apa yang merupakan
tujuan hidupnya. Filsafat menggunakan bahan-bahan dasar deskriptif yang
disajikan bidang-bidang studi khusus dan melampaui deskripsi tersebut dengan
menyelidiki atau menanyakan sifat dasarnya, nila-nilainya dan
kemungkinannya.Tujuannya adalah pemahaman dan kebijaksanaan. Karena itulah
filsafat merupakan pendekatan yang menyeluruh terhadap kehidupan dan dunia.
Suatu bidang yang berhubungan erat dengan bidang-bidang pokok pengalaman
manusia.
Akibat dari berkembangnya kesusasteraan Yunani
dan masuknya ilmu pengetahuan serta semakin hilangnya kepercayaan akan
kebenaran yang diberikan oleh pemikiran keagamaan, peran mitologi yang
sebelumnya mengikat segala aspek pemikiran kemudian secara perlahan-lahan
digantikan oleh logos (rasio/ ilmu).
Pada saat inilah, para filsofof kemudian
mencoba memandang dunia dengan cara yang lain yang belum pernah dipraktekkan
sebelumnya, yaitu berpikir secara ilmiah. Dalam mencari keterangan tentang alam
semesta, mereka melepaskan diri dari hal-hal mistis yang secara turun-temurun
diwariskan oleh tradisi. Dan selanjutnya mereka mulai berpikir sendiri. Di
balik aneka kejadian yang diamati secara umum, mereka mulai mencari suatu
keterangan yang memungkinkan mereka mampu mengerti kejadian-kejadian itu. Dalam
artian inilah, mulai ada kesadaran untuk mendekati problem dan kejadian alam
semesta secara logis dan rasional.
Sebab hanya dengan cara semacam ini,
terbukalah kemungkinan bagi pertanyaan-pertanyaan lain dan penilaian serta
kritik dalam memahami alam semesta. Semangat inilah yang memunculkan
filosof-filosof pada jaman Yunani. Filsafat dan ilmu menjadi satu.
Filsafat, terutama Filsafat Barat, muncul di
Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang
mulai berfikir-fikir dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di
sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada agama pada saat itu yang
dianggap sebagai “tirai besi keilmuan” lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
ini.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat
muncul di Yunani dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti
Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak
seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas.
Sejarah Perkembangan Awal Filsafat Dunia
Meski istilah philosophia (Φιλοσοφία) pertama
kali dimunculkan oleh Pythagoras, namun orang Yunani pertama yang bisa diberi
gelar filsuf ialah Thales (640-546 S.M.) dari Mileta (sekarang di pesisir barat
Turki). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam
semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos,
filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal
mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Dalam buku History and Philosophy of Science
karangan L.W.H. Hull (1950), menulis setidaknya sejarah filsafat dan ilmu dapat
dibagi dalam beberapa periode, termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal
pada periode itu.
Periode pertama, filsafat Yunani abad 6 SM
Pada masa ini ahli filsafatnya adalah Thales,
Anaximandros, dan Anaximenes yang dianggap sebagai bapak-bapak fisafat dari
Mileta. Thales berpendapat bahwa sumber kehidupan adalah air. Makhluk yang
pertama kali hidup adalah ikan dan menusia yang pertama kali terlahir dari
perut ikan. Thales juga berpendapat bahwa bumi terletak di atas air. Tentang
bumi, Anaximandros mengatakan bahwa bumi persis berada di pusat jagat raya
dengan jarak yang sama terhadap semua badan yang lain. Sementara Anaximenes
dapat dikatakan sebagai pemikir pertama yang mengemukakan persamaan antara
tubuh manusia dan jagat raya. Udara di alam semesta ibarat jiwa yang dipupuk
dengan pernapasan di dalam tubuh manusia.
Setelah mereka bertiga, Yunani kemudian
memiliki pemikir-pemikir terkenal yang lebih berpengaruh lagi terhadap
perkembangan fisafat, seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Phythagoras,
Hypocrates, dan lain sebagainya.
Periode Kedua, Periode setelah kelahiran Al Masih (Abad
0-6 M)
Pada masa ini pertentangan antara gereja yang
diwakili oleh para pastur dan para raja yang pro kepada gereja, dengan para
ulama filsafat. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami kemunduran. Para raja
membatasi kebebasan berfikir sehingga filsafat seolah-olah telah mati suri.
Ilmu menjadi beku, kebenaran hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para
raja yang berhak mengatakan dan menjadi sumber kebenaran.
Periode Ketiga, Periode kejayaan Islam (Abad 6-13 M)
Pada masa ini dunia Kristen Eropa mengalami abad
kegelapan, ada juga yang menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan.
Masa keemasan atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuan-ilmuan
Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku inilah diterbitkan dan
ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Hanafi, Maliki, Syafii, dan
Hanbali yang ahli dalam hokum Islam, Al-farabi ahli astronomi dan matematika,
Ibnu Sina ahli kedokteran dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine.
Al-kindi ahli filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga
menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis antara agama, filsafat,
mistik dan sufisme . Ibnu Khaldun ahali sosiologi, filsafat sejarah, politik,
ekonomi, social dan kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet.
Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami kemundurran, umat
Islam dalam keadaan porak-poranda oleh berbagai peperangan.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan
peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang
hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat
dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh
St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius
Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang
Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi
dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya,
karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories
dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi
mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang
oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan
Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa,
maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan
menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan
berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana telah diketahui, orang yang
pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists
(500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato
(427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles
(384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi
penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar
dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun
dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk
menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam
kenamaan yang terus mengembangkan filsafat. Filosof-filosof itu diantaranya
adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhamad
Iqbal, dan
Ibnu Rushd.
Berbeda dengan filosof-filosof Islam pendahulunya yang
lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol). Filosof
Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail
(Abubacer).
Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Akhirnya kedua orang ini
bisa menjadi sahabat.
Sedangkan Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di
Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu
Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan
Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa
jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati
dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan
pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di
Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya apa yang
dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya
Falsafah El-Ula (First Philosophy). Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak
dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka
yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh
Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan
terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian
digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas
di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari
filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran
sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf
(mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd
dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).
Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan
Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai
perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961) menyatakan bahwa pelarangan penyebaran
filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang
didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini
sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa perkembangan
ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami
kemunduran dengan kematian filsafat.
Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja
melakukan sensor terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2
paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya.
Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta
Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon. Mereka yang menentang Averroisme
umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam
kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang
diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak
lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.
Periode Keempat, Periode kebangkitan Eropa (Abad 12-17)
Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan
Islam, Eropah mengalami kebangkitan. Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu
pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi,
Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin. Pada zaman itu
Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan
karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund
menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil
terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia. Dante menulis Divina
Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW.
Universitas Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin
dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka
agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat
membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode
gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal
Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran
filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi
Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi. Pada Tahun 1214,
Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang
bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada
tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan
terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin.
Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil
terjemahan Michael Scot. Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah
berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo dan
bagian pertama dari Kitab Anima.
Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick
II untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna
mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan
pekerjaan yang pernah dilakukan oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari
Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah
Arab.
Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya
untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya
mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256.
Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan
Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh
karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab
tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.
Periode Filsafat Modern (Abad 17-20 M)
Dikenal Juga sebagai abad Äufklarung. Pada
masa ini Kristen yang berkuasa dan
menjadi sumber otoritas kebenaran mengalami kehancuran, dan juga awal abad
kemunduran bagi umat Islam. Berbagai pemikiran
Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka anut adalah rasionalitas,
empirisrme, dan Kritisme. Peradaban Eropa bangkit
melampaui dunia islam. Masa ini juga memunculkan intelektual Gerard Van Cromona
yang menyalin buku Ibnu Sina, ”The canon of medicine”, Fransiscan Roger Bacon,
yang menganut aliran pemikiran empirisme dan realisme berusaha menentang
berbagai kebijakan gereja dan penguasa pada waktu itu. Dalam hal ini Galileo
dan Copernicus juga mengalami penindasan dari penguasa. Masa ini juga
menyebabkan perpecahan dalam agama Kristen, yaitu Kristen Katolik dan
Protestan. Perlawanan terhadap gereja dan raja yang menindas terus berlangsung
Revolusi ilmu pengetahuan makin gencar dan meningkat. Pada masa ini banyak
muncul para ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang
menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan mengemukakan bahwa manusia
bebas untuk berbicara, bebas mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk
merdeka, serta hak berfikir. Hal serupa juga dilakuklan ole J.J .Rousseau
mengecam penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contak.
Hal berbeda terjadi didunai Islam, pada masa
ini umat Islam tertatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual
Islam yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran dan
Hadis. Pada masa krisis moral dan peradaban muncul ilmuwan lainnya yaitu
Muhammad Abduh. Muhammad Abduh berusaha membangkitkan umat Islam untuk
menggunakan akalnya. Ia berusaha mengikis habis taklid. Hal tersebut dilakukan
oleh Muhammad Abduh agara umat Islam menemukan ilmu yang berasal dari al-Quran
dan hadis.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa
pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari
para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang
berperan ada beda pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari rasio (akal). Aliran
empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah sumber pengetahuan itu, baik yang
batin, maupun yang inderawi. Lalu muncul aliran kritisisme, yang mencoba
memadukan kedua pendapat berbeda itu.
Aliran rasionalisme dipelopori oleh Rene
Descartes (1596-1650 M). Dalam buku Discourse de la Methode tahun 1637 ia menegaskan perlunya ada metode yang jitu sebagai dasar kokoh
bagi semua pengetahuan, yaitu dengan menyangsikan segalanya, secara metodis.
Kalau suatu kebenaran tahan terhadap ujian kesangsian yang radikal ini, maka
kebenaran itu 100% pasti dan menjadi landasan bagi seluruh pengetahuan.
Tetapi dalam rangka kesangsian yang metodis
ini ternyata hanya ada satu hal yang tidak dapat diragukan, yaitu “saya
ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, tetapi kenyataan, bahwa “aku ragu-ragu”. Jika
aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan
lain kata kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah “cogito ergo
sum”, aku berpikir ( menyadari) maka aku ada. Itulah kebenaran yang tidak dapat
disangkal lagi. — Mengapa kebenaran itu pasti? Sebab aku mengerti itu dengan
“jelas, dan terpilah-pilah” — “clearly and distinctly”, “clara et distincta”.
Artinya, yang jelas dan terpilah-pilah itulah yang harus diterima sebagai
benar. Dan itu menjadi norma Descartes dalam menentukan kebenaran.
Descartes adalah pelopor kaum rasionalis,
yaitu mereka yang percaya bahwa dasar semua pengetahuan ada dalam pikiran.
Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David
Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.
Pengalaman itu dapat yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun
yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan
inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang
percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera. Menurut
Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil
melalui persepsi indera kita.
Adapun Kritisisme oleh Imanuel Kant
(1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang
bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar
separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia
berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang
menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi
tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.
Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa
dunia “itu sendiri” (”das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak
“bagiku”, atau “bagi semua orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang
memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah
kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum
kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan
bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah
kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk
kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan. Demikian
Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis,
dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.
Begitulah pergulatan antar aliran filsafat
Modern. Rasionalist diwakili Descartes, Empirist diwakili Hume, dan Kritisme
oleh Kant saling menkritik satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
Jauh sebelum manusia menemukan dan menetapkan
apa yang sekarang kita sebut sesuatu sebagai suatu disiplin ilmu sebagaimana
kita mengenal ilmu kedokteran, fisika, matematika, dan lain sebagainya, umat
manusia lebih dulu memfikirkan dengan bertanya tentang berbagai hakikat apa
yang mereka lihat. Dan jawaban mereka itulah yang nanti akan kita sebut sebagai
sebuah jawaban filsafati. Kalau ilmu diibiratkan
sebagai sebuah pohon yang memiliki berbagai cabang pemikiran, ranting
pemahaman, serta buah solusi, maka filsafat adalah tanah dasar tempat pohon
tersebut berpijak dan tumbuh.
Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek
formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Sedang objek
materinya ialah semua yang ada yang bagi manusia perlu dipertanyakan
hakikatnya. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada
sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat
muncul di Yunani dan tidak di daerah yang berberadaban lain kala itu seperti
Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak
seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara
intelektual orang lebih bebas.
Dalam perkembanganya, filsafat Yunani sempat
mengalami masa pasang surut. Ketika peradaban Eropa harus berhadapan dengan
otoritas Gereja dan imperium Romawi yang bertindak tegas terhadap keberadaan
filsafat di mana dianggap mengancam kedudukannya sebagai penguasa ketika itu.
Filsafat Yunani kembali muncul pada masa
kejayaan Islam dinasti Abbasiyah sekitar awal abad 9 M. Tetapi di puncak
kejayaannya, dunia filsafat Islam mulai mengalami kemunduran ketika antara para
kaum filsuf yang diwakili oleh Ibnu Rusd dengan para kaum ulama oleh Al-Ghazali
yang menganggap filsafat dapat menjerumuskan manusia ke dalam Atheisme
bergolak. Hal ini setelah Ibnu Rusd sendiri menyatakan bahwa jalan filsafat
merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang
ditempuh oleh ahli atau mistikus agama.
Setelah abad ke-13, peradaban filsafat islam
benar-benar mengalami kejumudan setelah kaum ulama berhasil memenangkan
perdebatan panjang dengan kaum filosof. Kajian filsafat dilarang masuk
kurikulum pendidikan. Pemerintahan mempercayakan semua konsep berfikir kepada
para ulama dan ahli tafsir agama. Beriringan dengan itu, di Eropa, demam
filsafat sedang menjamur. Banyak buku-buku karangan filosof muslim yang
diterjemahkan kedalam bahasa latin. Ini sekaligus menunjukkan bahwa setelah
pihak gereja berkuasa pada masanya dan sebelum peradaban Islam mulai
menerjemahkan teks-teks aristoteles dan lain sebagainya oleh Al Kindhi, di
Eropa benar-benar tidak ditemukan lagi buku-buku filsafat hasil peradaban
Yunani.
Entah kebetulan atau tidak, ketika filsafat di
dunia islam bisa dikatakan telah usai dan berpindah ke eropa, peradaban islam
pun mengalami kemunduran sementara di eropa sendiri mengalami masa yang disebut
sebagai abad Renaissance atau abad pencerahan, pada sekitar abad ke-15 M.
Tapi tidak demikian halnya dalam komunitas
gereja. Periode ini juga menghantarkan dunia kristen menjadi terbelah. Doktrin
para pendeta katolik terus mendapatkan protes dari kaum Protestan.
Adapun para filsuf zaman modern setelah masa
aufklarung, abad ke-17 M, menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab
suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia
sendiri. Para filsuf modern yang tercatat dalam sejarah ialah Descartes, Karl
Marx, Nietsche, JJ Rosseau, Dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
www.muslimphilosophy.com
id.wikipedia.org
www.cidcm.umd.edu
blog.wordpress.com
philosopi Mingguan Indonesia
Harian KOMPAS Rabu, 02 Mar 2005 Halaman: 46
kognItar.wordpres.org
No comments:
Post a Comment